Dibalik pariwisata yang sudah mendunia, ada sejumlah tantangan yang dihadapi masyarakat suku Bangsa Sasak. Tantangan itu berupa mempertahankan kelestarian lingkungan dan nilai-nilai budaya masyarakat. Lantas apakah sudah ada hubungan timbal balik antara pariwisata dengan pelestarian lingkungan yang menjadi tujuannya berwisata.
Tidak semua sepaham tradisi budaya masyarakat suku Bangsa Sasak bisa lestari jika membiarkan pariwisata tanpa kontrol. Ketika kunjungan wisatawan memuncak, akan selalu ada korosi budaya yang menyertainya.
Tengoklah di Gili Trawangan. Bagi praktisi LSM, Tjatur Kukuh, ada perubahan besar yang telah terjadi di destinasi pariwisata itu.
Perubahan besar masyarakat diwarnai dengan hadirnya nilai-nilai baru. Bar, diskotek dan berbagai fenomena lain justru membawa masyarakat Sasak jadi berubah.
"Dahulu, jika suara azan berkumandang, para turis akan masuk rumah. Mereka turut menghargai adat kebiasaan masyarakat, " katanya. Bagaimana dengan sekarang?
Fenomena perubahan membawa masyarakat bersama dengan kebiasaan para wisatawan. Karena itu, ada sentilan yang menyebutkan di era pariwisata ini orang Sasak lebih bule dari bule dan nyaris semua kebiasaan warga luar diadopsi.
Tjatur bahkan mengukur dirinya tidak lebih dari warga kelas empat jika berkunjung ke Gili Trawangan. Tingkat kunjungan wisatawan yang mencapai 400 ribu setahun, mau tidak mau mengubah kondisi dan prilaku masyarakat.
Adakah kekuatan besar yang bisa menghadapi fenomena itu? Adakah filterisasi nilai sanggup mengajak wisatawan berintetaksi dengan kebiasaan masyarakat daerah?
"Kalau wisatawan tak dibatasi, masyarakat akan terasing di daerahnya sendiri. Sebanyak 400 ribu wisatawan ke Gili dalam setahun pasti merusak budaya," ujar Tjatur.
RUSAKNYA EKOSISTEM
Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Fauzi, sebagaimana dilansir Radar Lombok, menilai pengelolaan kawasan Gili Tramena (Trawangan, Meno, Air) sudah amburadul. Masalah seperti pencemaran lingkungan, ekosistem rusak, jumlah wisatawan yang berlebihan, serta erosi sepadan pantai akibat aktivitas manusia semakin memperparah kondisi kawasan tersebut.
Namun, pihak yang berwenang utama pada lahan konservasi di Gili Trawangan adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Pasalnya, Gili Trawangan merupakan bagian dari kawasan konservasi perairan yang berada di bawah pengelolaan kedua institusi tersebut.
Pemprov NTB memiliki peran dalam pengelolaan dan pemanfaatan aset daerah di Gili Trawangan. Karena itu, Pemprov NTB juga mengajukan upaya untuk mencabut status konservasi beberapa titik di Gili Tramena untuk memfasilitasi investasi, meskipun keputusan akhirnya tetap berada pada KLHK.
Penguasaan Pemerintah Pusat terhadap kawasan konservasi itu pun membuat warga masyarakat tidak bisa berbuat banyak. Contohnya dalam menjaga kelestarian lingkungan termasuk pengadaan air bersih. Izin-izin itu dikeluarkan dari Jakarta.
Izin pengelolaan air bersih di Gili Trawangan diberikan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), yang telah mencabut izin pemanfaatan ruang laut milik PT Tiara Cipta Nirwana (TCN) pada Oktober 2024. Meskipun PT TCN adalah penyedia utama air bersih, izin pengelolaan secara keseluruhan memerlukan persetujuan dari KKP untuk lokasi di perairan tersebut.
Bisa dibilang, pemerintah daerah nyaris tidak berdaya oleh regulasi itu walau bukan tidak mampu mengadakan air bersih untuk masyarakat dan pengunjung Gili Trawangan. Kewenangan Pusat mengamputasi ruang gerak untuk bisa berbuat lebih cepat.
Rektor Universitas Gunung Rinjani, Dr. Basri Mulyani, mengemukakan kebijakan pariwisata termasuk di Gili Trawangan, masih belum jelas mau ke arah mana. Faktanya, ekologi yang belum tertata dengan baik ditengah kunjungan wisatawan yang tanpa batas membuka peluang terjadinya degradasi.
"Banyak kewenangan diambil Pemerintah Pusat. Gili bukan tak sanggup mengadakan air minum namun kebijakan itu berada di Pusat, " ujarnya.
Kewenangann daerah, lanjut dia, tidak lebih besar dari kewenangan Pusat. Sehingga, Basri menekankan pentingnya mengembalikan kewenangan Gili Trawangan ke daerah agar bisa dikelola dengan kontrol yang ketat.
Sekretaris Jendral Asosiasi Hotel Mandalika, Rate Wijaya, mengemukakan krisis air di Gili bukan disebabkan Pemda tidak bisa mengadakan sumber air tapi disebabkan regulasi yang membuat semuanya menjadi wewenang Pusat.
"Pemerintah daerah sudah diamputasi dan kita menonton daerah kita sendiri. Tak bisa ambil kebijakan lebih dari yang dimiliki Pusat. Ini akan jadi bom waktu, " katanya pada Ngaji Budaya belum lama ini.