Ngaji Budaya berlangsung di Kantor Yayasan Swadaya Membangun, Selasa (19/8/2025). Kegiatan yang membahas tema "Monokrom Pengembangan Pariwisata dan Keterancaman Ekologis serta Nilai-nilai Budaya Lokal" merupakan kerjasama Yayasan ADC, YSM, BSK, dan Universitas Gunung Rinjani.
Acara diwarnai penyampaian puisi oleh Dr.Karomi. Dibacakan pula cerpen berjudul "Pedagang Bakso" karya Ali BD. Cerpen itu mengangkat ide kondisi masyarakar Sasak saat ini di tengah suku bangsa lain khususnya Jawa dalam dunia usaha seperti berdagang bakso. Bagi masyarakat, bakso yang dijual "Mas" lebih laku kembang yang dijual "Amaq"Sasak. Sejumlah narasumber hadir seperti HM Sapta Mulia, Tjatur Kukuh, Roma Hidayat, Dr. Basri Mulyani, Lalu Prima Wiraputra, L. Sajim Sastrawan, Dr. Saepul Hamdi, dan Rate Wijaya.
Tokoh LSM, Dr. H. Moch. Ali Bin Dachlan, dalam sambutannya saat membuka acara, mengatakan bahwa lokasi acara merupakan tempat penggodokan pemikiran sejak era orde baru. Karena itu, setiap dinamika yang berkembang di masyarakar mesti sering dikumandangkan untuk mencerna pemikiran menuju Bangsa Sasak berkemajuan.
Menurut Ali BD, dialog diperlukan karena tidak ada harapan berkualitas dari pemerintah tentang pembangunan. Di sisi lain, partai politik tidak bisa diharapkan karena wakil rakyat turut serta jadi pemain sehingga kekuatan pengimbang di lingkungan masyarakat harus dibangkitkan.
"Anda ini jadi pengimbang dari kekuatan yang kurang berkualitas, " katanya di hadapan sekira 50 peserta yang berasal dari tokoh masyarakat se Pulau Lombok. Ali mengatakan orang Sasak dikenal dengan agama yang kuat dalam berbagai bentuk seperti dalam nilai, upacara atau simbolisme.
"Ini yang harus didiskusikan. Pikiran tidak pada pemujaan mazhab dan orang. Di lombok masih ada yang memuja mazhab dan tokoh, bahkan hampir disembah, " cetusnya.
Berbagai kejadian konflik seperti karena mazhab dan aliran sering terjadi. Hal itu dikarenakan warga belum memahami dengan benar kebudayaan orang Sasak.
"Kebudayaan itu pikiran tentang kemanusiaan dan persatuan, " kata Ali BD seraya menambahkan bahwa semua bisa dilakukan untuk diatasi dengan dialog agar tidak ada perang di antara orang Sasak.
Ia menegaskan agama bisa mengalami kehancuran kalau tidak dipahami dengan baik. Sehingga, diperlukan dialog gang terus-menetus dan berkelanjutan.
Ali menambahkan dialog akan dilanjutkan dengan penelitian di beberapa destinasi seperti Senggigi, Gili Trawangan, Mandalika, dan Rinjani (Sembalun). Destinasi wisata tersebut tengah mengalami ancaman ekologi jika tidak dikontrol dengan baik. Ian
Di Mana Posisi Orang Sasak dalam Pariwisata?
Daya magnet Lombok dengan keindahannya luar biasa. Setiap orang asing justru sudah mengenalnya. Persoalannya, mengapa orang Sasak banyak yang meninggalkan daerahnya di tengah pariwisata yang berharap "Makmur Mendunia? Di mana posisi mereka?
Fakta yang nampak ironis adalah ketika wisatawan mulai berbondong-bondong ke Lombok, destinasi wisata ini malah ditinggalkan warganya sebagai pekerja migran ke berbagai belahan dunia. Adakah yang salah? Hal ini setidaknya menunjukkan masih terbentang jarak antara masyarakat Sasak dan pariwisata dalam membaca peluang di depan mata.
"Padahal, potensi pariwisata Lombok sudah diakui masyarakat dunia, tinggal mengkapitalisasi dalam membantu perekonomian masyarakat, " kata Dr. Saepul Hamdi, salah seorang akademisi, yang mengaku beberapa kali menanyai warga asing di atas pesawat yang sangat mengenal Pulau Lombok.
Memang, tidak dinafikan sejumlah program sudah berjalan seperti Desa Wisata di setiap kabupaten. Tidak sedikit desa wisata yang unggul dan menjuarai Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI). Namun, setelahnya cenderung tidak berkembang akibat kebutuhan wisatawan yang belum terpenuhi.
Ada beberapa kriteria ADWI seperti kebersihan, kesehatan, keamanan, kelestatian lingkungan, dan daya tarik wisata. Setiap tahun ajang ini diikuti peserta se Tanah Air. Pertanyaannya, apakah gebyar pariwisata yang diwarnai dengan berbagai event nasional dan internasional mengangkat derajat ekonomi masyarakat? Apakah pariwisata menambah daya pikat pesona budaya dengan nilai-nilainya yang adiluhung, atau sebaliknya? Apakah destinasi wisata dan kehadiran wisatawan tidak mengancam ekosistem budaya?
Saepul Hamdi mengatakan wisatawan datang dengan berbagai tujuan. Selain ingin menikmati keindahan alam, di antaranya ingin memahami kultur budaya masyarakar Sasak. Apakah dengan kondisj yang ada sekarang berarti masyarakat tidak tertarik mengisi peluang di sektor ini?
Mengambil contoh guide, salah satu profesi sektor pariwisata ini di Jerman, malah diburu. Menjadi pemandu wisata dinilai merupakan pekerjaan yang luar biasa. Bahkan profesi ini digeluti warga yang memiliki latarbelakang pendidikan tinggi.
"Namun, di Lombok banyak yang memilih sebagai pekerja migran dan tidak peduli pariwisata. Jadi guide adalah peluang yang terbuang, " kata Hamdi.
Di sisi lain, Pemerintah belum memberikan pemahaman yang memadai kepada masyarakat melalui ilmu pengetahuan tentang sejarah dan budaya daerah. Akibatnya, sering kali guide tidak faham budaya daerah yang dikunjunginya, bahkan ada guide yang curhat persoalan rumah tangganya di hadapan wisatawan.
Sering terjadi pemandu wisata tidak memahami peran edukasinya untuk memberi manfaat bagi wawasan wisatawan. Padahal, memperkenalkan budaya daerah dalam bentuk story teeling akan memberi kesan sempurna wisatawan terhadap daerah yang dikunjunginya.
Menurut budayawan yang juga mantan Ketua Walhi NTB, Lalu Prima Wiraputra, dahulu, sebelum wisatawan diajak berkeliling, seorang pemandu wisata memberikan edukasi terlebih dahulu tentang daerah kunjungannya.
"Saya melakukan hal itu agar wisatawan mengerti, termasuk terhadap apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan, " katanya. Atensi wisatawan pun cukup baik disebabkan mereka datang untuk mengetahui apa yang akan dikunjunginya.
Menurut Saepul Hamdi, jika masyarakat memiliki literasi yang memadai terkait destinasi, cukup membuka peluang baginya untuk bisa bekerja di sektor ini. Artinya, kontribusi pariwisata untuk meningkatkan ekonomi masyarakat akan bisa diraih.
Sementara ini Hamdi tak melihat wisatawan menjadi ancaman bagi masyarakat sehingga menjadi potensi membanghn ruang interaksi. Sebutlah jika ada hotel yang tak ramah lingkungan yang bisa menjadi penguat mengenalkan budaya daerah.
Menurutnya, pariwisata justru bisa menyatukan antara masyarakat lokal dan wisatawan. Beberapa cara yang bisa ditempub di antaranya melalui integrated community.
"Bule di Sengigi sulit berinteraksi sedangkan di Mandalika sangat hidup. Itu sebabnya Mandalika lebih cepat berkembang ketimbang Senggigi, " jelasnya tentang kedekatan wisatawan dengan masyarakat.
Kekayaan suku Bangsa Sasak adalah dari aspek warga masyarakatnya yang berasal dari berbagai latarbelakang kelompok dan mazhab. Jika gambaran ini sebagai potensi maka memerlukan perhatian dalam membangun sektor pariwisata dengan nilai-nilai budaya di dalamnya.